Indonesia sejak dulu dikenal sebagai Negara dengan kekayaan sumber alamnya yang melimpah, baik dibidang perkebunan, pertanian, perikanan, dan pertambangan. Hampir diseluruh wilayah Indonesia memiliki sumber daya alam yang berpotensi besar untuk menyejahterakan rakyat. Oleh karena itu dibutuhkan peran pemerintah sebagai regulator dalam mengatur eksploitasi dibidang pertambangan, karena peran pemerintah inilah yang sangat penting untuk menjaga kesejahteraan rakyat terkhusus disektor pertambangan ini, karena sektor ini pula yang amat diminati oleh investor asing di Indonesia, maka diperlukan kebijakan pertambangan yang lebih berpihak kepada kepentingan bangsa dalam hal hak menguasai Negara, sebagaimana dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 yang dengan tegas menyatakan bahwa: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.Rumusan Konstitusi tersebut menunjukan bahwa Negara memiliki kedaulatan atas sumber daya alamnya, termasuk kekayaan mineral dan batubara, oleh karena itu investor asing yang memiliki maksud untuk mengelola kekayaan alam tersebut harus sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh regulator.
Pada tahun 2017, Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral mengeluarkan Peraturan pemerintah Nomor 1 tahun 2017 tentang perubahan
keempat atas peraturan Nomor 23 tahun 2010 tentang pelaksanaan kegiatan usaha
pertambangan mineral dan batubara yang pada pokoknya menyatakan bahwa pemegang
kontrak karya dapat merubah statusnya dari kontrak karya menjadi izin Usaha
Pertambangan Khusus jika belum membangun smelter sebagai syarat hilirisasi tapi
ingin melakukan ekspor konsentrat. Jika kita lihat dari 1967 sampai dengan 2017,
itu artinya rezim kontrak karya sudah berlangsung selama 40 tahun.
Dan yang dimaksud engan kontrak karya tersebut
berdasarkan keputusan menteri pertambangan dan energi Nomor
1409.k/201/M.PE/1996 tentang tata cara pengajuan pemrosesan pemberian kuasa pertambangan,
izin prinsip, kontrak karya, dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan
batubara. Yang disebut dengan kontrak karya yaitu suatu perjanjian antara
pemerintah republic Indonesia dengan perusahaan swasta asing atau patungan
antara asing dengan nasional (dalam rangka PMA) untuk pengusahaan mineral
dengan berpedoman kepada Undang-undang No 1 tahun 1967 tentang penanaman modal
asing, serta Undang-undang No 11 tahun 1967 tentang ketentuan pokok
pertambangan. Jangka waktu kontrak karya yaitu tidak melebihi 30 tahun,
sedangkan IUPK dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 20 tahun dan
dapat diperpanjang 2 kali masing-masing 10 tahun.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara adalah perubahan atas Undang-Undang Nomor 11
Tahun 1967 yang dibuat pemerintah dalam rangka merubah rezim lama ke rezim baru
perizinan yang mengatur sektor pertambangan di Indonesia. Terdapat
ketentuan-ketentuan baru yang menunjukan adanya geseran pradigma dalam
mengelola sumber daya mineral dan batubara. Pengertian pertambangan tersebut
didalam Undang-undangnya yaitu, pertambangan adalah sebagian atau seluruh
tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan
mineralatau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi
kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan
penjualan, serta kegiatan pascatambang. Sedangkan usaha pertambangan adalah
kegiatan usaha dalam rangka pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi
tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi,
penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta
kegiatan pascatambang. Izin Usaha Pertambangan, yang selanjutnya disebut IUP
adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan. Usaha pertambangan tersebut
dilaksanakan dalam 3 bentuk yaitu, Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin
Pertambangan Rakyat (IPR), dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). IUP
terdiri atas dua tahap:
- IUP Eksplorasi meliputi kegiatan penyelidikan
umum, eksplorasi, dan studi kelayakan
- IUP Operasi Produksi meliputi
kegiatan konstruksi, penambangan pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan
dan penjualan.
Izin Usaha Penambangan (IUP) diberikan oleh:
1. Bupati/walikota apabila Wilayah Izin
Usaha Pertambangan (WIUP) berada didalam satu wilayah kabupaten/kota
2. Gubernur apabila WIUP berada pada
lintas wilayah kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi setelah mendapatkan
rekomendasi dari bupati/walikota setempat sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan
3. Menteri apabila WIUP berada pada
lintas wilayah provinsi setelah mendapatkan rekomendasi dari gubernur dan
bupati/walikota setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pertambangan mineral dan batubara dikelola
berasaskan:
1.
Manfaat, Keadilan, dan Keseimbangan
2.
Keberpihakan Kepada Kepentingan Bangsa
3.
Partisipatif, Transparansi, dan Akuntabilitas
4.
Berkelanjutan dan Berwawasan Lingkungan
Dalam rangka mendukung pembangunan
nasional yang berkesinambungan, tujuan pengelolaan mineral dan batubara adalah:
1. Menjamin efektivitas pelaksanaan dan
pengendalian kegiatan usaha pertambangan secara berdaya guna, berhasil guna,
dan berdaya saing
2. Menjamin manfaat pertambangan mineral
dan batubara secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup
3. Menjamin tersedianya mineral dan
batubara sebagai bahan baku dan/atau sebagai sumber energi untuk kebutuhan
dalam negeri
4. Mendukung dan menumbuhkembangkan
kemampuan nasional agar lebih mampu bersaing ditingkat nasional, regional, dan
internasional
5. Meningkatkan pendapatan masyarakat lokal,
daerah, dan Negara, serta menciptakan lapangan kerja untuk sebesar-besarnya
kesejahteraan rakyat
6. Menjamin kepastian hukum dalam
penyelenggaraan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara.
Kehadiran
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 ini dilandasi oleh niat untuk memperbaiki tata
kelola pertambangan mineral dan batubara di Indonesia. Salah satu esensi perbaikan
yang dikandung UU Minerba adalah menata ulang izin-izin yang tumpang tindih.
Salah satu kendala yang dihadap oleh UU ini adalah dianggap masih terlalu
general, sementara dari beberapa kasus pertambangan banyak terdapat beberapa
kondisi-kondisi spesifik.
Dengan demikian
apakah saat ini setiap usaha pertambangan dan izin usaha pertambangan telah
sesuai dengan peraturan perundang-undangan ini dan memikirkan untuk tujuan sebesar-besarnya
kesejahteraanrakat Indonesia, atau malah berdampak merugikan rakyat lingkar
tambang dan Negara? Maka itu setiap pertambangan maupun usaha pertambangan
harus searah dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan juga harus
senaluri dengan Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar Republik Indonesia dan
amanat konstitusi, karena rakyat secara kolektif memberikan mandat kepada
Negara melalui Undang-Undang Dasar Republik Indonesiatahun 1945 untuk melakukan
fungsinya dalam mengadakan kebijakan (beleid),
dan tindakan pengurusan (bestuursdaad),
pengaturan (regelendaad), pengelolaan
(beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoundensdaad) oleh Negara. Maka
dengan itu hasil tambang di Indonesia dikuasai oleh Negara yang dikelola dengan
tujuan untuk kesejahteraan rakyat serta sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.Pemerintah
dan Lembaga Hukum pun demikian, kewenangan yang mereka miliki harus
dimaksimalkan dalam konteks persoalan pertambangan, mengadili pihak-pihak yang
bermasalah dalam penerbitan IUP illegal dalah keharusan bagi pihak-pihak
berwajib tersebut. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kepolisian, kejaksaan,
dan Pengadilan tak terkecuali. Semua wajib menjalankan amanat konstitusi untuk
memelihara dan menjaga ketertiban kehidupan bersama.