Timbulnya perjanjian beserta akibat hukumnya
Hukum perdata merupakan bentuk
hukum privat yang terjadi di antara subyek hukum. Hubungan tersebut biasanya
ada karena adanya sebuah perjanjian atau perikatan dan oleh karena itu kita
perlu mengenal sebab timbulnya perjanjian dan akibat dari perjanjian itu
sendiri. Bab II Buku III KUHPerdata menyamakan kontrak dengan perjanjian. Hal
tersebut secara jelas terlihat dalam judul Bab II Buku III KUHPerdata,
yakni “Van verbintenissen die uit contract of overeenkomst (Perikatan yang
lahir dari kontrak atau Perjanjian)”. Pada prinsipnya kontrak atau perjanjian
terdiri dari satu atau serangkaian janji yang dibuat para pihak dalam kontrak.
Esensi kontrak itu sendiri adalah kesepakatan (agreement). Atas dasar itu, Subekti mendefinisikan kontrak sebagai
peristiwa di mana seseorang berjanji kepada orang lain di mana dua orang saling
berjanji untuk melaksanakan sesuatu.[1]
Perjanjian dianggap sah dan mengikat bagi para pihak yang membuatnya
sejauh tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum yang
berlaku,tidak melanggar kesusilaan dan ketertiban umum
Terdapat syarat sah untuk melakukan
perjanjian. Pasal 1320 KUHPerdata menentukan adanya 4 syarat sahnya suatu
perjanjian, yaitu :
1. Adanya
kesepakatan
Supaya
kontrak atau perjanjian menjadi sah maka para pihak harus sepakat terhadap
segala hal yang terdapat di dalam perjanjian. Pada dasarnya kata sepakat adalah
pertemuan atau persesuaian kehendak para pihak di dalam perjanjian. Seseorang
dikatakan memberikan kesepakatan atau persetujuannya jika ia memang menghendaki
apa yang disepakati.[2]
Pernyataan
kehendak sendiri dapat diungkapkan secara tegas maupun diam-diam. Pernyataan
kehendak secara tertulis, contohnya berupa adanya tandatangan para pihak dalam
suatu perjanjian. Adanya tanda tangan tersebut secara tegas menyatakan bahwa para
pihak telah bersepakat mengenai isi perjanjian.
Pernyataan
kehendak secara diam-diam contohnya : A adalah pedagang suku cadang mobil. A
memesan sejumlah suku cadang kepada B seorang pemasok (supplier). Setelah
pemesanan suku cadang tersebut, B kemudian segera mengirimkan suku cadang yang
dipesan. Di dalam pengiriman suku cadang tersebut, B menyertakan invoce atau
resi suku cadang tersebut. Apabila A segera membayar sejumlah uang yang disebut
dalam resi tersebut maka berarti secara diam-diam A setuju atau sepakat pada
harga yang ditawarkan B.[3]
2. Kecakapan
para pihak
Pasal
1329 KUHPerdata menyatakan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat
perjanjian, kecuali apabila menurut undang-undang dinyatakan tidak cakap. Pasal
1330 KUHPerdata menentukan orang yang tidak cakap yaitu : orang yang belum
dewasa, mereka yang di bawah pengampuan.
3. Adanya
obyek tertentu
Objek
perikatan adalah prestasi. Pasal 1333 ayat (1) KUHPerdata, adalah zaak dalam arti prestasi berupa perilaku
tertentu.Perilaku tertentu ini memiliki arti yaitu melakukan sesuatu atau tidak
melakukan sesuatu. Sebagai contoh melakukan sesuatu: A penjual apel dan Badalah
pembeli. Maka prestasi yang dilakukan A adalah memberikan apel tersebutkepada
B. Dan B memeberikan sejumlah uang kepada A.
Untuk
contoh tidak melakukan sesuatu adalah A adalah agensi iklan shampoo. B adalah
artis. B memiliki prestasi untuk tidak memotong rambut karena harus melalkuan
shooting iklan shampoo. Dan A memiliki prestasi membayar sejumlah uang kepada
B. Maka, prestasi yang dilakukan oleh B si artis adalah tidak melakukan
sesuatu.
4. Adanya
kausa hukum yang halal
Pasal 1335 jo 1337
KUHPerdata menyatakan bahwa suatu kausa dinyatakan terlarang jika bertentangan
dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.
Syarat tersebut
menimbulkan akibat hukum jika tidak terpenuhi. Persyaratan yang berkaitan
dengan kesepakatan dan kecakapan untuk membuat suatu perjanjian disebut syarat
subyektif. Tidak terpenuhinya syarat subyektif memiliki konsekuensi kontrak
tersebut dapat dibatalkan. Artinya, selama perjanjian tersebut belum diajukan
pembatalannya ke pengadilan yang berwenang makaperjanjian tersebut masih tetap
sah.
Perjanjian yang
dapat dibatalkan oleh salah satu pihak biasanya terjadi karena[4]
:
1.
Adanya pelanggaran yang dilakukan oleh salah satu
pihak
2.
Perintah pengadilan
3.
Salah satu pihak telibat permasalahan hukum
4.
Salah satu pihaknya tidak lagi memiliki
kecakapan dalam bertindak
Sedangkan
persyaratan mengenai obyek tertentu dan kausa yang halal merupakan syarat
obyektif. Ketidaklengkapan syarat obyektif memiliki konsekuensi kontrak batal
demi hukum. Artinya, perjanjian sejak pertama kali dibuat telah tidak sah,
sehingga hukum menganggap bahwa perjanjian tersebut tidak pernah ada
sebelumnya.
Selain syarat
sahnya perjanjian, menurut Henry P. Pangabean[5]
ada pula asas-asas pokok kontrak yang memiliki peranan penting untuk memahami
syarat sahnya perjanjian. Asas-Asas Kontrak tersebut terkandung dalam Pasal
1338 KUHPerdata yaitu sebagai berikut :
1.
Asas Konsensualisme
Konsensualisme ini memiliki arti
kesepakatan para pihak yang membuat perjanjian.
2.
Asas pacta sunt servanda
Asas ini memiliki arti bahwa setiap
orang yang terlibat dalam suatu perjanjian yang dianggap sebagai kesepakatan
adalah mengikat selayaknya undang-undang.
3.
Asas kebebasan berkontrak
Asas ini memiliki arti bahwa setiap
orang yang membuat perjanjian memiliki hak untuk menentukan isi dari perjanjian
tersebut. Namun, kebebasan ini dibatasi oleh Pasal 1320 KUHPerdata.
4.
Asas Itikad baik
Itikad baik ini terbagi menjadi dua
yaitu itikad baik prakontrak dan itikad baik pada pelaksanaan kontrak. Itikad
baik pra kontrak harus ada pada saat para pihak melakukan negosiasi. Itikad
baik prakontrak ini bermakna kejujuran. Maka itikad baik ini bersifat subyektif
karena didasarkan pada kejujuran saat melakukan negosiasi
Itikad baik pelaksanaan kontrak merupakan
syarat obyektif karena mengacu pada isi perjanjian. Isi kontrak adalah
kewajiban dan hak para pihak yang mengadakan kontrak. Kewajiban dan hak
tersebut harus rasional dan patut.[6]
Terdapat beberapa
jenis perjanjian, yaitu[7]
:
1.
Perjanjian Timbal Balik dan Sepihak
Yang
dimaksud dengan perjanjian timbal balik yaitu perjanjian yang mewajibkan kedua
belah pihak berprestasi secara timbal balik.
Misalnya yaitu dalam perjanjian jual beli yang mana kedua belah pihak
sama sama memiliki kewajiban dimana penjual berkewajiban untuk menyerahkan
barang dan berhak menerima uang dari penjualan barang tersebut sedangkan
pembeli berkewajiban untuk membayar barang yang diperjual belikan dan berhak
untuk menerima barang. Sedangkan yang dimaksud dengan perjanjian sepihak yaitu
Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang mewajibkan hanya salah satu pihak
yang berprestasi. Misalnya yaitu perjanjian hibah dan pemberian kuasa.
2.
Perjanjian Bernama dan Tidak Bernama
perjanjian
yang sudah memiliki nama sendiri dan ditentukan didalam Undang-Undang. Misalnya
yaitu perjanjian jual beli, sewa menyewa, tukar menukar dll. Sedangkan
perjanjian tidak bernama yaitu perjanjian yang tidak memiliki nama yang tumbuh
dan berkembang didalam masyarakat yang mana perjanjian ini tidak tercantum
didalam KUHPerdata. Misalnya yaitu perjanjian keagenan, Joint Venture, Franchise.
3.
Perjanjian Obligatoir dan Kebendaan
Perjanjian
obligatoir adalah perjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban pada masing-masing
pihak dan belum memindahkan hak milik. Sedang perjanjian kebendaan adalah
perjanjian untuk memindahkan hak milik dalam jual-beli, sewa menyewa, dan
tukar-menukar.
4.
Perjanjian Konsensual dan Riil
Perjanjian konsensual adalah
perjanjian di mana di antara kedua belah pihak telah tercapai persesuaian.
Sedangkan yang dimaksud dengan perjanjian riil adalah perjanjian di samping ada
persetujuan kehendak juga sekaligus harus ada penyerahan nyata atas barangnya
[1]
Prof.Ridwan. Hukum Kontrak indonesia.UII Press :2018. Hal 57.
[2]
J.Satrio. Dari Perjanjian. Buku I. Hlmn 164
[3] Prof
Ridwan. Op.Cit Hal 171.
[5] Henry
P.Pangabean. Penyalahgunaan Keadaan sebagai alasan untuk pembatalan perjanjian.
Yogyakarta : Liberty. 2001. Hal 7
[6]
Prof.Ridwan. Op.Cit. hlm 92.
0 komentar: